Mencermati Minat Wisata Kaum Milenial

mencermati minat wisata kaum milenial. bagaimana kaum milenial ini memilih spot wisata, mencari referensi wisata yang akan disinggah? mari simal ulasan berikut.

Menarik mencermati segmen wisatawan yang lahir tahun 80 dan 90-an, atau biasa disebut dengan wisatawan milenial. Menurut beberapa kajian, ternyata, karakter wisatawan milenial adalah sebagai wisatawan yang gemar mencari pengalaman baru, termasuk wisata petualangan, eksplorasi, dan perjalanan darat (road trips). Mereka cenderung spontan, tak terlalu banyak waktu untuk perencanaan, dan percaya pada ulasan-ulasan destinasi wisata di internet terutama di media sosial. Maka tak heran kalau travel blogger menjadi kiblatnya.

Kemudian, perilaku ini berkembang menjadi tren dan kian menular. Yang tak kalah menarik, rata-rata para wisatawan milenial mengaku bahwa pilihan berwisata mereka adalah untuk mencari pengalaman wisata yang unik, baru, otentik dan personal. Salah satu alasanya adalah untuk membuat mereka berbeda dengan rekan-rekannya. Lihat saja data dari Singapore Tourism Board belum lama ini. Hasil riset mereka membuktikan bahwa 31% wisatawan milenial Indonesia cenderung mengambil liburan secara mendadak. Angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibanding dengan Asia secara keseluruhan yang hanya 19%.

Wisatawan milenial Indonesia juga sering terpengaruh oleh pengalaman orang lain. Hal itu terjadi di seluruh jaringan sosial baik offline ataupun online. Begitu juga forum-forum online dan situs-situs review. Hasil studi Singapore Tourism Board juga membuktikan bahwa wisatawan milenial Indonesia mengandalkan informasi dari mulut ke mulut mengenai tujuan wisata mereka. Kemudian mereka berbagi pengalaman wisatanya melalui media sosial. Dan, diyakini perilaku yang demikian terus berduplikasi di dunia online, terus menggelinding dan mempengaruhi milenial lainnya.

Fakta menarik lainya, wisatawan usia 15-29 menyumbang sekitar 23% dari wisatawan global pada 2016. Memang, generasi milenial mungkin belum seluruhnya kuat secara finansial, namun mereka memiliki banyak waktu untuk melakukan perjalanan. Bahkan wisatawan di generasi ini relatif pemberani, dan tidak menyerah pada masalah ekonomi, kerusuhan politik, dan lain-lain. Jika ada peluang, mereka akan melakukan perjalanan, mendapatkan pengalaman, dan menyumbangkan tenaga (WYSE, 2016).

Oleh karena itu, milenial adalah konsumen wisata yang sangat potensial. Selain jumlahnya yang terus membesar, perilaku wisatanya pun sangat supportif terhadap pertumbuhan dunia pariwisata. Jika destinasi-destinasi domestik tak sanggup menyesuaikan diri dengan selera mereka, maka anggaran konsumsi pariwisata kaum milenial akan parkir ke negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand. Lihat saja data yang dirilis lembaga riset Provetic tahun lalu.

Menurut Provetic, potensi konsumsi pariwisata generasi milenial sangat tinggi jika dilihat dari pola mereka menabung dan pola mereka menggunakan dana tabungannya. Generasi milenial menabung tidak hanya untuk tujuan finansial yang besar seperti membeli rumah atau ibadah umrah, tetapi juga untuk pembelanjaan yang bersifat konsumtif, seperti beli tiket konser musik atau untuk keperluan wisata.

Dalam riset berbasis media sosial selama 1 Desember 2015 – 31 Januari 2016, Provetic menemukan sebanyak 41% dari 7.809 perbincangan mengenai alasan utama menabung demi keperluan konsumtif tersebut. Temukan lainnya, 38% dari 7,757 responden masih menggunakan uang dari ibu atau orangtua mereka dalam melakukan metode pembayaran, selain penggunaan kartu debit yang populer. Menggunakan uang orangtua adalah jalan pintas bagi generasi milenial ketika berhadapan dengan masalah keuangan.

Sekalipun hal itu mengejutkan karena terlihat bahwa generasi milenial masih kurang menganggap penting manfaat perencanaan keuangan bagi masa depan mereka, tapi itu juga membuktikan bahwa generasi milenial lebih reaktif dalam menggunakan uang. Sehingga secara ekonomi pariwisata, milenial akan menjadi pasar yang sangat empuk jika produk-produk pariwisata yang ditawarkan sesuai dengan selera mereka.

Hal senada juga bisa kita temukan dari hasil survei online yang digelar Facebook dan Crowd DNA terhadap 1.000 responden berusia 13-24 tahun pada 2016. Sebanyak 79% responden memikirkan mengenai pentingnya menabung, tapi hanya 62% yang benar-benar sudah merencanakan masa depan mereka secara detail. Dengan kata lain, generasi milenial saat ini lebih pragmatis, dan ingin segala sesuatu yang serba instan, termasuk dalam menggunakan uang tabungan.

Imbas positifnya, demand yang tercipta dari generasi milenial justru memacu kemajuan teknologi dengan makin bertumbuhnya berbagai macam aplikasi yang memungkinkan mereka untuk berbelanja dengan mudah dan cepat. Aplikasi online shopping tumbuh subur, baik dalam bentuk market place seperti Tokopedia, Bukalapak, Elevenia maupun online retail shopping seperti Lazada dan Zalora. Dan, untuk memuaskan adiksi petualangan dan pariwisata, aplikasi pemesanan tiket dan hotel juga tak kalah booming-nya.

Jadi, dengan karakter generasi milenial yang serba konsumtif dan kurang memiliki perencanaan keuangan yang baik, teknologi hadir sebagai pengimbangnya. Toh, bagaimanapun hal itu juga penting untuk mendorong produktivitas dan peningkatan daya beli. Saya kira, hal yang akan menjadi pekerjaan rumah bersama bagi semua pemangku kepentingan, baik pelaku industri keuangan maupun non-keuangan, pelaku pariwisata, dan pelaku bisnis berbasis teknologi adalah untuk menciptakan satu ekosistem yang dapat membantu generasi milenial mengatur keuangannya secara tepat, cepat, mudah, dan aman.

baca juga: jasa konsultan hotel di jakarta

Sementara, dari sisi pariwisata, baik bagi pemerintah yang sedang menjadikan pariwisata sebagai salah satu tulang punggung perekonomian nasional, atau pelaku bisnis pariwisata, besarnya porsi wisatawan milenial dengan karakter seperti disebutkan di atas akan menjadi tantangan tersendiri dalam mengemas kebijakan pariwisata di satu sisi, dan dalam mengemas produk-produk pariwisata di sisi lain.

Otoritas, lokal dan nasional, harus mulai menyesuaikan regulasi-regulasi terkait tata kelola destinasi pariwisata unggulan agar melahirkan preferensi berwisata di dalam negeri bagi kelompok milenial. Kemudian, pemerintah, lokal dan nasional, harus terus mendorong semua pihak untuk menggeser sebagian besar lini bisnisnya ke ranah digital. Sementara itu, para pelaku bisnis pariwisata harus mulai memoles produk-produk atau paket-paket pariwisata yang mampu menampung aspirasi berwisata kalangan muda. Paket-paket yang menarik ke destinasi-destinasi yang unik di dalam negeri, hotel-hotel dengan reservasi sangat mudah dan harga yang sesuai dengan kocek generasi muda, serta atraksi-atraksi yang unik tapi tetap kekinian.

Dan, terakhir bagi daerah, terutama otoritas lokal terkait, bersegeralah menginventarisasi destinasi-destinasi unik, yang menawarkan berbagai petualangan dan pengalaman baru bagi generasi milenial. Lalu, bekerja sama secara intens dengan pelaku-pelaku bisnis yang terkait dengan pariwisata, mulai dari travel agent sampai para pelaku bisnis kuliner dan perhotelan, untuk memoles, membenahi, upgrading, dan scaling up destinasi-destinasi tersebut agar bisa segera diperkenalkan kepada kaum milenial.

Selain otoritas pariwisata lokal sendiri, pelaku-pelaku bisnis pariwisata di daerah dan di lokasi-lokasi destinasi harus pula bersinergi untuk menggulirkan semua produk pariwisata di dunia digital, terutama media sosial agar secepat mungkin menyentuh layar ponsel atau layar komputer para milenial.

Sari Lenggogini doktor pariwisata dari Queensland University Australia dan Direktur Pusat Studi Pariwisata Universitas Andalas Padang.

sumber: https://m.detik.com/news/kolom/3778270/menangkap-gairah-wisata-milenialhas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

© 2025: | Awesome Theme by: D5 Creation | Powered by: WordPress